Jumat, 04 Mei 2012
Manusia Sebagai Makhluk Berbudaya
Manusia Sebagai Makhluk Budaya
Manusia bersifat budaya, merupakan alur perkembangan berdasarkan struktur dari kodrat manusia. Seandainya saja manusia tidak dapat mencapai kebudayaan, maka bukan saja manusia itu dikucilkan dari kebudayaannya, tapi juga tidak akan mencapai kodrat kemanusiaannya. Manusia bukanlah kebebasan murni atau kreativitas murni, dan bukan juga eksistensi tanpa esensi.manusia memiliki ikatan-ikatan kosmis dan biologis yang menempatkannya pada suatu tempat yang tertentu dalam evolusi.
Kodrat manusia adalah kodrat yang belum rampung. Pada saat lahir, manusia adalah yang termiskin diantara semua makhluk hidup, ia hanya mempunyai beberapa naluri bagi kelangsungan hidupnya. Di lain pihak manusia memiliki suatu dinamisme batin yang memungkinkan dia menimba pengetahuan praktis dan teoritis. Manusia itu secara biologis belum rampung. Kiranya orang dapat mengatakan bahwa manusia tidak pernah menjadi dewasa, karena eksistensinya merupakan sebuah proses pencapaian dan belajar tanpa akhir. Oleh karena itu,ia harus menerima dari lingkungannya teknik-teknik kehidupan yang tidak diberikan baik oleh alam maupun oleh nalurinya.
Manusia adalah makhluk komunikasi dan persekutuan, tiap orang berada dalam suatu hubungan dengan orang lain, tiap orang itu sosial, baik karena keterbatasannya maupun karena kekayaannya. Tetapi tiap ciri positif manusia kemungkinan ada juga ciri negatif. Masing-masing dari kita bertanggungjawab mendayagunakan kreatifitasnya bagi pembangunan aspek positif dan guna mengurangi sebanyak mungkin yang negatif.
Manusia adalah makhluk kodrati seperti makhluk lainnya di alam,makhluk kodrati yang kompleks dan sedang menjadi, yang kodratnya yang khas sebagai roh berbadan mengungkapkan diri dalam intelegensi, yakni kutub afektif dan kutub efektifnya. Sehingga sebagai akibatnya, perkembangan manusia mula-mula terjadi sesuai dengan hukum-hukum alam yang beraneka macam, yang mengendalikan masa depannya. Namun demikian, seandainya perkembangan itu dibiarkan berjalan sendiri, perkembangan itu akan sama sekali gagal. Tetapi untunglah perkembangan alami manusia itu bukan hanya tercapai tetapi malahan jauh terlampaui berkat intervensi yang bijaksana oleh intelegensi dan kebebasan. Hasil – hasil intervensi itu menjadikan manusia sebagai makhluk budaya. Jadi, manusia bukan hanya makhluk bernyawa seperti beruang dan kera. Sehingga kita merasa tertolong untuk melihat manusia sebagai makhluk yang berbudaya. Dengan kata lain, membudayakan manusia adalah tuntutan kodratnya sebagai makhluk yang berakal budi.
Kebudayaan adalah perkembangan yang khas manusiawi yang berasal dari penggunaan intelegensia dan kebebasan, dan yang justru memungkinkan manusia menjadi manusia benar-benar. Kebudayaanlah yang memberikan kepada manusia kekayaan yang khas baginya dan menampakkan dengan jelas tendensinya sebagai dimensi yang konstitutif bagi adanya. Dalam arti itu,kebudayaan sama dengan peradaban.
Kini lebih mudah bagi kita melihat perbedaan anatara kodrat dan kebudayaan. Kodrat adalah ada yang diberikan kepada kita pada kelahiran dan apa yang mengalir dengan sendirinya dari situ. Sedangkan kebudayaan adalah apa yang dihasilkan dari usaha penaklukan oleh roh manusia. Jadi, kebudayaanbukan satu bagian dari warisan genetis atau biologis kita, namun dipengaruhi oleh suatu lingkungan sosial yang telah mengintegrasikan kebudayaan. Meskipun kebudayaan itu bukan kodrat, namun kebudayaan itu kodrati bagi manusia.kebudayaan adalah tuntutan kodrat manusia.
Untuk memahami hubungan antara kodrat dan kebudayaan,kita menghadapi 3 kemungkinan,yaitu penolakan terhadap kodrat manusia, penerimaan terhadap kodrat manusia, penerimaan dinamis terhadap kodrat manusia untuk dilampaui dengan kebudayaan. Kemungkinan pertama, menolak kodrat, biarpun untuk membela nilai-nilai paling tinggi dan ideal yang paling terluhur adalah menyongsong kegagalan. Menolak kodrat kita sendiri karena keterbatasannya adalah juga mengambil resiko tidak memperdulikan nilai unik kita sendiri dengan apa adanya. Kemungkinan kedua, menerima kodrat manusiawi kita dengan lugas dan begitu saja. Hal ini berarti tidak mau menerima martabat manusia,tidak mau menerima apa yang khas padanya.itu sama saja dengan menyetujui berada hanya sebagai binatang dalam rupa luarnya,karena dalamhal seperti itu kita akan mengalami frustasi dan sama sekali tidak puas. Kemungkinan ketiga, penerimaan dinamis terhadap kodrat kita dengan maksud untuk mengatasinya secara budaya. Hanya cara inilah yang cocok untuk diambil,karena hanya cara inilah yang selaras dengan seluruh kenyataan kongkret kita, yakni makhluk berkodrat dan makhluk berbudaya.
Oleh karena kebudayaan bukanlah suatu data kodrati yang diwariskan, maka kebudayaan harus didapatkan dan diraih oleh tiap manusia yang sedang berkembang, melalui suatu proses perkembangan yang mempunyai prinsip batin dalam intelegensia dan kebebasan tiap pribadi. Perwujudan secara budaya adalah suatu hak yang dimiliki oleh setiap orang, semata-mata atas dasar fakta bahwa ia seorang manusia. Tiap manusia mempunyai hak untuk mewujudkan dirinya sepenuh-penuhnya danmengambil bagian dalam pembangunan masa depannya sendiri.
Asal-Usul Suku Jawa
Asal-usul suku Jawa banyak versinya. Versi yang paling populer adalah bahwa leluhur orang Jawa adalah Ajiasaka, Pandita dari India yang datang ke Jawa. Kisah Ajisaka dan murid-muridnya kemudian ddigunakan sebagai patokan aksara Jawa (ha na ca ra ka ...).
Versi lain mengatakan nenek moyang orang Jawa datang dari sekitar lereng Gunung Merapi. Karena di lereng dan kaki gunung Merapi berdiri kerajaan Mataram kuno, yang mana mereka mendirikan Candi Borobudur. Kerajaan Maratam Kuno kemudian pindah ke Jawa Timur karena bencana dahsyat letusan Gunung Merapi yang bahkan membuat Borobudur terkubur tanah.
Jika ditarik ribuan tahun untukke belakang, di Jawa sudah ada kehidupan. Bahkan di Sangiran (Sragen), ditemukan fosil manusia purba, terutama dari jenis phitecanthropus erectus. Jauh-hari bahkan di Mojokerto (Jawa Timur) sudah hidup nenek moyang manusia Jawa yang diberi julukan Homo Mojokertensis. Mereka hidup 200 ribu tahun yang lalu.
Masyarakat Jawa sekarang mendiami wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta. Jika diperluas, mereka yang tinggal di Cirebon dan Indramayu juga diklasifikasikan sebagai orang Jawa karena bahasa yang mereka gunakan lebih dekat ke bahasa Jawa daripada bahasa Sunda. banyak orang Jawa menetap di selatan Sumatera (Lampung dan sekitarnya), sebagian besar Banten (Keturunan pasukan Mataram) Jakarta dan Sumatera Utara. Hal ini terjadi karena berbagai alasan, antara lain: kolonial Belanda membawa orang Jawa ke tempat-tempat itu untuk menjadi buruh perkebunan. Selain itu, etnis Jawa juga menyebar ke Suriname.
Bahasa Jawa (ngoko dan Kromo) umum digunakan dalam bahasa sehari-hari instruksi. Tentu ada beberapa dialek. Ada dialek Yogya-Solo, semarangan, Banyumasan, Tegal dan Jawa Timur.
Soal kehidupan beragama, setelah kedatangan Wali Songo, umumnya orang Jawa adalah Muslim. Sebagian kecil masih Hindu dan Budha, selain Kristen dan Katolik. Ada juga masih memegang ajaran-ajaran kejawen.
Orang Jawa dikenal halus dan sangat tepo seliro. Juga tidak suka konflik. Di lain pihak, di mata suka Non-jawa, orang Jawa di kenal penakut dan suka main belakang. tapi, apapun dan bagaimanapun, orang Jawa adalah mayoritas di Indonesia dan sangat mendominasi sektor pemerintahan dan kebudayaan.
Sistem Kekerabatan Suku Bangsa Jawa
A. Fungsi Ideal Kekerabatan
Sistem kekerabatan orang Jawa berdasarkan prinsip keturunan bilateral (garis keturunan diperhitungkan dari dua belah pihak, ayah dan ibu). Dengan prinsip bilateral atau parental ini maka ego mengenal hubungannya dengan sanak saudara dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, dari satu nenek moyang sampai generasi ketiga, yang disebut sanak saudulur (kindred). Khusus di daerah Yogyakarta bentuk kerabat disebut alur waris (sistem trah), yang terdiri dari enam sampai tujuh generasi.
Dari sistem kekerabatan ini maka:
1. Seorang ego mempunyai dua orang kakek dan dua orang nenek.
2. Suku Jawa mengenal keluarga luas (kindred).
3. Hak dan kedudukan anak laki-laki dan perempuan sama, dimata hukum.
4. Adat setelah menikah adalah Neolokal.
5. Perkawinannya bersifat Eksogami, meskipun ada yang melakukan perkawinan Cross Cousin.
6. Perkawinan yang dilarang antara lain:
a. perkawinan dengan saudara sekandung (incest taboo).
b. perkawinan pancer lanang (perkawinan antara anak-anak dari dua orang tua yang bersaudara laki-laki.
c. Kawin lari.
7. Suku Jawa mengenal (diijinkan):
a. Perkawinan Ngarang Wulu yaitu perkawinan duda dengan saudara perempuan istrinya yang sudah meninggal (sororat).
Dalam kehidupan sehari-hari, istilah-istilah kekerabatan untuk menyebut seseorang didalam kelompok kerabatnya adalah sebagai berikut.
a. Ego menyebut orang tua laki-laki dengan Bapak atau Rama.
b. Ego menyebut orang tua perempuan dengan Simbok atau Biyung.
c. Ego menyebut kakak laki-laki dengan Kamas, Mas, Kakang Mas, Kakang, Kang.
d. Ego menyebut kakak perempuan dengan Mbak Yu, Mbak, Yu.
e. Ego menyebut adik laki-laki dengan Adhi, Dhimas, Dik, Le.
f. Ego menyebut adik perempuan dengan Adhi, Dhi Ajeng, Ndhuk, Dhenok.
g. Ego menyebut kakak laki-laki dari ayah atau ibu dengan Pak Dhe, Siwa, Uwa.
h. Ego menyebut kakak perempuan dari ayah atau ibu dengan Bu Dhe, Mbok Dhe, Siwa.
i. Ego menyebut adik laki-laki dari ayah atau ibu dengan Paman, Pak Lik, Pak Cilik.
j. Ego menyebut adik perempuan dari ayah atau ibu dengan Bibi, Buklik, Ibu Cilik, Mbok Cilik.
k. Ego menyebut orang tua ayah atau ibu baik laki-laki maupun perempuan dengan Eyang, Mbah, Simbah, Kakek, Pak Tua. Sebaliknya Ego akan disebut Putu.
l. Ego menyebut orang tua laki-laki/ perempuan dua tingkat diatas ayah dan ibu Ego dengan Mbah Buyut. Sebaliknya Ego akan disebut dengan Putu Buyut, Buyut.
m. Ego menyebut orang tua laki-laki/perempuan tiga tingkat diatas ayah dan ibu Ego dengan Mbah Canggah, Simbah Canggah, Eyang Canggah. Sebaliknya Ego akan disebut Putu Canggah, Canggah.
Di Yogyakarta tata cara sopan santun pergaulan seperti diatas berlaku diantara kelompok kerabat (kinship behavior). Bagi orang muda adalah keharusan menyebut seseorang yang lebih tua darinya baik laki-laki maupun perempuan dengan istilah tersebut diatas, karena orang yang lebih tua dianggap merupakan pembimbing, pelindung, atau penasehat kaum muda. Melanggar semua perintah dan nasihat kaum tua dapat menimbulkan sengsara yang disebut dengan kuwalat.
B. Fungsi Aktual Kekerabatan
Dalam masyarakat Jawa, adanya istilah kindred (keluarga luas) menunjukkan arti penting dalam kebersamaan keluarga luas. Namun, dalam kehidupan keluarga saya, masing-masing anggota keluarga lebih fokus terhadap keluarga intinya, namun hal itu tidak memutus tali silahturahmi antar anggota keluarga luas, walaupun memang frekuensi silahturahmi tersebut jarang.
Selain itu, sebutan atau panggilan yang menunjukkan kekerabatan keluarga sedikit demi sedikit telah terkikis. Sebagai contoh, dalam keluarga saya dalam memanggil orang tua perempuan (ibu) tidak dengan panggilan “simbok” atau “biyung”, namun dengan panggilan “mama”. Begitu pula dalam memanggil adik laki-laki dari ayah atau ibu, keluarga saya menggunakan panggilan “oom” dan panggilan untuk adik perempuan dari ayah atau ibu adalah “tante”.
Dalam hal melanggar perintah dan nasihat orang tua di masyarakat Jawa juga mulai tergeser nilainya. Bukan berarti melanggar perintah dan nasihat orang tua itu mulai diperbolehkan, namun maksud dari pergeseran tersebut adalah pergeseran pola pikir yang tadinya sikap menaati perintah dan nasihat orang tua adalah untuk menghindari “kuwalat“, namun sekarang karena menghindari timbulnya dosa dan sebagai sikap hormat terhadap orang yang lebih tua.
C. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Pergeseran Fungsi
Ø Jarak tempat tinggal antar satu anggota lain yang terlalu jauh.
Ø Lingkungan sekitar masing-masing keluarga inti yang telah banyak mempengaruhi cara hidup anggotanya, terutama yang berdomisili di luar lingkungan Jawa.
Ø Adanya pengaruh media massa dalam merepresentasikan kehidupan keluarga.
Ø Adanya pengaruh kepercayaan religi (agama) sehingga sedikit menggeser nilai kepercayaan Jawa.
RUMAH ADAT SUKU JAWA Joglo Rumah Adat Suku Jawa yang Eksotik
May 12, 1970 | Author: admin | Posted in Uncategorized
RUMAH ADAT SUKU JAWA Joglo Rumah Adat Suku Jawa yang Eksotik
Jika berjalan-jalan ke daerah Yogyakarta, maka masih dapat Anda temui di beberapa kawasan, rumah adat suku Jawa yang bernama Joglo. Sebuah rumah yang berbentuk persegi panjang terbuat dari kayu, dengan beberapa ukiran khusus di beberapa bagiannya.
Sebuah rumah dapat mencerminkan siapa pemiliknya serta status sosial si empunya di dalam masyarakat. Demikian juga makna yang terkandung dalam rumah adat suku Jawa tersebut.
Milik Bangsawan
Jaman dahulu, rumah Joglo hanya dimiliki oleh kaum bangsawan atau orang kaya saja. Ini sebab bahan bangunan yang dibutuhkan untuk membuat sebuah Joglo tidaklah sedikit dan murah.
Bentuk atap yang tinggi berbahan kayu jati atau jenis kayu mahal lainnya, membuat rakyat jelata mustahil memiliki biaya untuk membangunnya.
Selain itu, perawatan agar kondisi rumah tetap awet dan kuat juga tidak murah. Itu sebab mengapa rumah Joglo biasanya hanya dimiliki oleh kalangan bangsawan dan orang berada saja.
Bentuk Bangunan
Walaupun saat ini banyak macam jenis Joglo yang berasal dari bentuk asli rumah adat suku Jawa ini, namun bentuk asalnya adalah sama. Yaitu terdiri atas empat buah tiang yang menyangga bangunan utama yang disebut Soko Guru.Terdapat susunan kayu di atas Soko Guru yang sering disebut Tumpang Sari. Fungsi tumpang sari mirip dengan penyangga plafon.
Ruangan dalam Joglo secara umum terbagi menjadi 3. Pendopo, pringgitan, dan omah jero. Masing-masing memiliki fungsi yang berbeda-beda. Pendopo berfungsi sebagai ruang pertemuan. Pringgitan digunakan sebagai tempat pertunjukan seperti wayang kulit.
Omah jero adalah ruangan yang bersifat pribadi. Biasanya khusus digunakan untuk pemilik rumah beraktifitas. Di dalamnya terdapat kamar atau senthong. Dalam bentuk asli rumah Joglo, hanya ada 3 buah senthong.
Anti Gempa
Ada teori yang mengatakan bahwa rumah Joglo tahan gempa. Teori ini ada benarnya jika dilihat dari bentuk asli rumah adat suku Jawa ini yang tidak menggunakan semen, melainkan sepenuhnya terbuat dari kayu.
Penggunaan pasak-pasak sebagai pengganti paku juga membuat rumah ini lebih kuat menghadapi goncangan. Hampir seperti rumah-rumah yang terdapat di Jepang, yang rata-rata desainnya menggunakan kayu sehingga lebih kuat dan ringan.
Apapun, rumah Joglo adalah bukti bahwa nenek moyang kita adalah manusia-manusia kreatif yang tidak meninggalkan kearifan setempat dalam membangun sebuah rumah
Orang Jawa
Orang Jawa adalah sebutan bagi orang yang tinggal di Jawadwipa atau dipulau Jawa pada dulu kala.Pada saat ini yang dinamakan orang Jawa adalah penduduk yang menghuni di pulau Jawa bagian tengah dan timur yang disebut suku bangsa Jawa dan anak keturunannya .Pada umumnya mereka masih melestarikan budaya, adat istiadat warisan nenek moyangnya dan berbicara bahasa Jawa.Kebanyakan anak keturunan orang Jawa yang tinggal diluar “tanah Jawa” seperti di Jakarta dan daerah maupun negara lain, meski masih melestarikan atau akrab dengan budaya leluhurnya, sudah tidak lagi berkomunikasi dengan bahasa Jawa, mereka menggunakan bahasa Indonesia.
Harus diberi acungan jempol bahwa semua suku bangsa yang bermacam-macam di Indonesia, menjunjung tinggi rasa ke- Indonesia-an ,sebagai satu rumpun bangsa yang bersatu.Terlahir sebagai bangsa Indonesia sudah terpatri didalam lubuk hati yang terdalam sejak kelahiran ditanah air tercinta Indonesia, tidak peduli apa suku bangsanya. Rasa kepatriotan kesukuan tidak ada, yang ada adalah patriot Indonesia!
Dalam masyarakat multikultural Indonesia yang pluralistis, budaya, adat istiadat bermacam daerah dilestarikan dan dikembangkan untuk disumbangkan kepada Indonesia merdeka yang bersatu, bernaung dibawah kibaran bendera pusaka Merah Putih.
Masa Pra-Sejarah
Dalam khasanah Arkeologi, nama Java Man sudah tidak asing lagi, ini menunjuk kepada nenek moyang orang Jawa dikala purba.Situs manusia purba di Indonesia, pulau Jawa adalah di Sangiran yang terbelah sisi utara dan selatan karena dilewati aliran Kali Cemoro yang mengalir dari Gunung Merapi menuju ke Bengawan Solo. Bagian utara termasuk wilayah Desa Krikilan, Sragen, sedangkan yang belahan selatan masuk Desa Krendowahono, Karanganyar.
Penelitian dalam rangka mencari fosil nenek moyang manusia di Sangiran sudah dimulai sejak 1893 oleh penelitiEugene Dubois.Dia menemukan fosil manusia purba di Trinil, Ngawi, Jawa Timur, yang dinamakan Pithecanthropus Erectus, artinya manusia kera yang berjalan tegak.
Penelitian di Sangiran dilanjutkan kembali secara intensif sejak 1930 oleh J.P. van Es dan 1934 oleh GHR von Koenigswald.Tidak kurang dari seribu alat-alat dari batu buatan manusia yang pernah tinggal disini diketemukan.
Alat dari batuan kaldeson yang dipecahkan itu bisa dipergunakan untuk memotong, menyerut dan untuk meruncingkani tombak. Oleh von Koenigswald alat-alat itu disebut alat serpih dari Sangiran –The Sangiran Flake Industry.
Meganthropus Paleojavanicus, manusia purba yang punya fosil rahang atas yang ukurannya besar diketemukan ditahun 1936. Selanjutnya ditahun 1937 diketemukan fosil manusia purba yang dinamakan Pithecanthropus Erectus. Penemuan spektakuler ini melibatkan banyak peneliti kondang dari manca negara dan para ahli Indonesia sepertiR.P. Soejono, Teuku Yacob, S.Sartono, Hari Widianto dll.
Juga ikut terlibat berbagai lembaga peneliti seperti American Museum of National History, Biologisch-Archaelogisch Institut, Groningen, Tokyo University, Padova University, National d”Histoire Naturelle, Paris, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Balai Arkeologi Yogyakarta dll.
Pemerintah RI telah menetapkan daerah Sangiran seluas 56 km2 sebagai Daerah Cagar Budaya. Pada 5 Desember 1996, Situs Sangiran oleh Unesco dinyatakan sebagai Warisan Budaya Dunia , World Heritage List No. 593, dengan nama Sangiran Early Man Site, Situs Hunian Manusia Purba Sangiran.
Menurut penelitian geologis, Situs Sangiran sudah muncul 3( tiga) juta tahun lalu dan merupakan perbukitan dengan struktur kubah ditengahnya, disebut Sangiran Dome.
Sekitar 1.8 hingga 1 juta tahun lalu ,daerah Jawa Tengah dan Timur merupakan lembah ,yang sebelah selatan dibatasi Gunung Selatan, sebelah utara oleh Gunung Kendeng. Lembah itu sebagian besar berupa danau dan rawa-rawa. Disebelah timur lembah berupa lautan. Ditengah lembah ada gunung a.l. Gunung Lawu Purba dan Gunung Wilis.
Pada saat itulah mulai muncul kehidupan manusia purba disekitar rawa-rawa dan muara sungai Cemoroyang bersumber di Gunung Merapi. Homo Erectus yang dikenal sebagai Java Man tinggal disekitar sungai Cemoro sekarang dan kehidupannya berkembang terus dengan diketemukannya ribuan alat-alat batu.
Selain fosil manusia purba, juga diketemukan fosil-fosil binatang purba seperti : Gajah, Banteng, Kerbau, Rusa, Kuda Nil – hippopotamus dll.Kuda Nil Sangiran ini ukuran besar dan beratnya duakali lipat dari kuda Nil yang ada sekarang ini!
Temuan fosil manusia, binatang dan peralatan batu yang jumlahnya ribuan bisa dilihat di Musium Sangiran.
Perkembangan budaya dari manusia purba menjadi manusia modern berjalan dalam kurun waktu yang sangat lama. Ini adalah uraian dari segi ilmiah mengenai keberadaan orang Jawadan anak keturunannya yang menghuni pulau ini sejak dahulu kala.
Orang Jawa dari sudut pandang kebatinan
Pulau Jawa mulai kelihatan dihuni manusia yang lebih maju peradabannya sejak 10.000. –sepuluh ribu tahun sebelum Masehi dan mulai agak ramai pada 3.000 –tigaribu tahun sebelum Masehi. Disaat itu kehidupan mulai mengelompok , sumber makanan mulai diperhatikan, tanaman mulai diurusi, selanjutnya dibudidayakan dengan sederhana sawah yang dialiri air.Keberadaan lahan, air, bibit tanaman dan pakan tidak menjadi masalah, karena sumbernya kaya dan luas dan penghuni masih sangat sedikit.
Muncul nama anak benua Jawata, Kepulauan Sweta Dwipa, Nusantara dan Jawa Dwipa yang adalah pulau Jawa. Nama penghuni pulau Jawa adalah orang Jawa.
Dibumi Jawa ,nama itu punya arti dan maksud yang penting. Nama pasti mempunyai arti dan mengandung makna dan harapan. Misalnya orang tua yang menghendaki anaknya selalu selamat, maka anaknya dinamai Slamet atau Sugeng, atau Rahayu. Supaya anaknya bijak dinamai Wicaksono, ingin waskita dinamai Waskita. Ingin anak perempuan yang cantik bagai bidadari ,diberi nama seperti nama bidadari seperti Ratih, Nawangwulan, Laksmi dll. Ingin supaya anak laki-laki yang macho, berwatak satria, diberi nama Satria atau nama-nama satria dalam wayang seperti : Arjuna, Bimo, Sadewo dll.
Nama-nama tempat dan rumah/gedung tentu diberi nama yang bagus, terutama bagus artinya, tetapi juga enak diucapkannya.
Hal ini merupakan kebiasaan yang lain dengan orang Inggris misalnya ,yang mengatakan : What is in a name? Apa artinya sebuah nama?
Dibab Jawadwipa telah disebutkan bahwa wong atau tiyang Jawa artinya keturunan dewa.
Pangiwo dan Panengen
Dalam Kejawen ada istilah Pangiwo dan Panengen. Pangiwo artinya kiwo, sebelah kiri, tempat yang sepi, tempat nya suksma, alam Kadewatan. Hidupnya dinamakan Sang Hyang Nurcahyo, berupa sinar gemilang, masih berada dialam gaib, belum punya piranti untuk hidup didunia, karena tidak punya badan fisik.
Panengen artinya sebelah kanan, tidak sepi, sudah mulai kelihatan. Ini perlambang kehidupan badan raga. Dimulai sejak berujud wiji, benih yang berada digua garba ibu, dalam pertapaan sembilan bulan mendapatkan sari makanan melalui usus yang berpusat dipusar ibu, siap muntuk lahir dan hidup didunia luar.
Tanah Jawa
Ada tanah Jawa atau tanah Jawi, maksudnya : ta- sira, kamu,anda ;nah dari mrenah artinya bertempat tinggal di Jawa atau Jawi – njawi artinya diluar, dijagat ini. Anda sudah tidak tinggal lagi dialam gaib,alam kadewatan, alam suksma, kini kamu tinggal diluar, dijagat ini.
Jadi sebenarnya hidup manusia dibumi ini tidak memisahkan kehidupan suksmanya yang berasal dari alam gaib dan kehidupan raganya didunia ini. Suksma dan raga selalu melekat tak terpisahkan dalam diri seorang manusia.Persatuan suksma dan raga dalam keadaan sempurna, sinkron. Kalau satu hari ,raganya rusak, maka suksma akan kembali lagi kealam asalnya, yang disebut alam suksma, alam gaib, alam kadewatan.
Jadi semakin terbuka jelas ajaran spiritual Jawa, bahwa suksma itu hidup langgeng, abadi, yang rusak itu raga. Oleh karena itu ada ungkapan kebatinan : Asal mula bali marang mula-mula, yang artinya suksma, roh kembali kelam asalnya, ke haribaan Tuhan.
Orang Jawa memang senang mengungkap sesuatu dengan perlambang ,dengan simbol-simbol. Bagi mereka yang belum biasa, bisa terjebak dalam menangkap artinya, karena ditafsirkan secara harafiah.
Arti kata Jawa
Menurut Prof. Mr. Hardjono.almarhum , Guru Besar Universitas Gaja Mada,ditahun 1980-an mengatakan kepada penulis mengenai arti Jawa atau Jawi dari sudut pandang kebatinan.Begini katanya : Dimas, banyak orang yang sebenarnya tidak mengerti arti kata Jawa atau Jawi. Ja itu artinya lahir dan wi artinya burung., jadi seperti burung, manusia itu harus melewati dua tahapan untuk menjadi manusia sempurna..Pertama terlahir sebagai telur, baru kemudian terbuka menjadi burung. Beliau tidak mau menjelaskan artinya yang jelas, membiarkan penulis mencari sendiri.
Ditahun 1984, dalam kaitan mendalami ajaran Kejawen, penulis bertemu dengan seorang pinisepuh yang pengetahuan Kejawennya sangat mumpuni, namanya Bapak Drs.S. Prawirowardoyo, Kol.Purn.AD. Dari beliau mendapat penjelasan lagi tentang arti kata Jawa. Dikatakannya bahwa orang Jawa itu baru sempurna hidupnya, kalau sudah dilahirkan dua kali. Yaitu pertama lewat gua garba ibu dan kedua kalinya setelah sempurna Ilmu Sejatinya.Penulis mengerti arti dari kalimat tersebut, tetapi tidak punya bayangan, bagaimana terjadi kelahiran kedua itu. .
Jangan sekadar percaya
Beliau hanya tersenyum, tidak mau menjawab rasa penasaran saya dan berkata : Nak Mas, jangan begitu saja percaya kepada saya. Sebagai orang Jawa, Nak Mas harus mengalami sendiri pengalaman spiritual, sebelum percaya. Itu hukum yang berlaku didunia kebatinan/spiritual. Jadi jangan percaya kepada jarene, kata orang, tetapi harus mengalami sendiri!
Baru setelah sepuluh tahun dari pertemuan ini, saya baru mengerti dengan sesungguhnya ,apa yang dimaksud dengan “kelahiran kedua” oleh orang kebatinan.
Selain itu, para ahli kebatinan mengatakan bahwa orang Jawa itu artinya orang yang selalu manembah dan berbakti dengan tulus kepada Gusti, Tuhan.
Dari segi Tata Krama
Dari segi tata krama, etiket pergaulan, orang Jawa itu artinya orang yang sopan . Orang yang santun disebut: njawani, kalau tidak tahu sopan santun disebut: ora njawani.
Mengenai hal tata krama,tata susila dan budi pekerti karena menyangkut salah satu topik Kejawen yang penting, akan dibicarakan secara terpisah.
Langganan:
Postingan (Atom)