Perkawinan campuran telah merambah seluruh pelosok Tanah Air dan kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia. Menurut survey yang dilakukan oleh Mixed Couple Club, jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campur juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain. Dengan banyak terjadinya perkawinan campur di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam perundang-undangan di indonesia.
Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 :
”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”
Selama hampir setengah abad pengaturan kewarganegaraan dalam perkawinan campuran antara warga negara indonesia dengan warga negara asing, mengacu pada UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958. Seiring berjalannya waktu UU ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodir kepentingan para pihak dalam perkawinan campuran, terutama perlindungan untuk istri dan anak.
Barulah pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru. Lahirnya undang-undang ini disambut gembira oleh sekelompok kaum ibu yang menikah dengan warga negara asing, walaupun pro dan kontra masih saja timbul, namun secara garis besar Undang-undang baru yang memperbolehkan dwi kewarganegaraan terbatas ini sudah memberikan pencerahan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan campuran.
Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah kewarganegaraan anak. UU kewarganegaraan yang lama menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam UU tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila di kemudian hari perkawinan orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan anaknya yang warga negara asing.
Dengan lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru, sangat menarik untuk dikaji bagaimana pengaruh lahirnya UU ini terhadap status hukum anak dari perkawinan campuran, berikut komparasinya terhadap UU Kewarganegaraan yang lama
Perkawinan campuran menurut Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 : merupakan perkawinan yang terjadi antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan. Selama ini pemerintah Indonesia mengatur perkawinan campuran antara WNI dan WNA berdasarkan UU No. 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan RI, namun kemudian sejak tanggal 1 Agustus 2006 diperbaharui dengan UU No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI. Di dalam UU No. 12 Tahun 2006 dijelaskan bahwa anak hasil kawin campur dapat memiliki kewarganegaraan ganda namun terbatas. Dikatakan terbatas karena status kewarganegaraan ganda terbatas ini hanya diperuntukan bagi anak hasil perkawinan campur saja, dimana setelah mereka dewasa secara hukum Indonesia yaitu usia 18 tahun dan mendapat tenggang waktu 3 tahun sampai dengan usia 21 tahun, diharuskan untuk memilih salah satu kewarganegaraan yang dimilikinya. Maka akan timbul permasalahan dalam bidang keimigrasian yaitu dalam pengaturan dalam hal izin keimigrasian. Permasalahan ini diteliti dengan menggunakan pendekatan metode yuridis normatif dan deskripsi analitis, yaitu berupa kajian terhadap asas-asas dan norma hukum yang terdapat dalam ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberian izin keimigrasian berikut peraturan pelaksanaannya dan Undang-undang Keimigrasian dan menggambarkan permasalahan mengenai pengaturan izin keimigrasian serta selanjutnya menganalisis permasalahan tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Keimigrasian yang berlaku saat ini baik Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Kehakiman maupun Petunjuk Pelaksanaan Direktur Jenderal Imigrasi belum mencantumkan anak eks kewarganegaraan ganda terbatas sebagai subyek pemegang Izin Tinggal Terbatas maupun Izin Tinggal Tetap. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pengaturan Pemberian Izin Keimigrasian bagi Subyek Kewarganegaraan ganda terbatas yang telah dewasa dan memilih WNA dan menetap di Indonesia belum diatur dalam perundang-undangan yang ada saat ini. Untuk itu perlu dibuat suatu perubahan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1994 Tentang Visa, Izin Masuk dan Izin Keimigrasian, Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.02-IZ.01.10 Tahun 1995 Tentang Visa Singgah, Visa Kunjungan, Visa Tinggal Terbatas, Izin Masuk dan Izin Keimigrasan maupun Petunjuk Pelaksanaan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor F-309.IZ.01.10 Tahun 1995 Tentang Tata Cara Pemberian, Perpanjangan, Penolakan, dan Gugurnya Izin Keimigrasian dengan mencantumkan anak-anak eks kewarganegaraan ganda terbatas sebagai salah satu subyek pemegang Izin Tinggal Terbatas dan Izin Tinggal Tetap. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar